Senin, 13 April 2009

Need Assesment Diklat bagi Guru

Oleh
Ihsan Kamaludin*

”Untuk menghadapi zaman globalisasi ini guru harus bisa cerdas menghadapi kemajuan zaman. Maka dari itu, program diklat sangat diperlukan untuk meningkatkan kualitas guru-guru Indonesia”

Guru, merupakan ujung tombak pendidikan harus selalu bisa melakukan perbaikan dan perubahan dengan profesinya. Ditunjang dengan janji pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan guru sejalan pula pola pembinaan untuk meningkatkan kualitas mengajarnya. Program sertifikasi dan uji komptensi merupakan upaya untuk meningkatkan kulitas guru, tetapi program diklat ini seharusnya dilakukan oleh semua pihak, terutama kepala sekolah.
Sebagai pimpinan di lembaga pendidikan, kepala sekolah dituntut untuk mengembangkan kompetensi kemitraanya untuk bisa memberikan layanan peningkatan kualitas mengajar guru. Dalam Permendiknas disebutkan bahwa guru harus mempunyai kompetensi profesional, kompetensi paedagogik,kompetensi kepribadian dan kompetensi sosial. Untuk mewujudkan kompetensi tersebut diupayakan program diklat bagi guru untuk meningkatkan kualitasnya dengan mengembangkan kemitraan sekolah. Pertama, Untuk meningkatkan kompetensi profesisional upayakan diklat sesuai dengan guru mata pelajaran. Kepala sekolah bisa berkoordinasi dan bekerja sama dengan Dinas Pendidikan atau lembaga-lembaga diklat yang relevan seperti P4TK (Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan) ataupun yang diadakan organisasi keguruan sepeti KKG (klompok Kerja Guru) dan MGMP (Musyawarah Guru Mata Pelajaran)
Kedua, untuk meningkatkan kompetensi paedagogik yakni bagaimana guru bisa memahami kurikulum,manajemen peserta didik,dan Metode Pembelajaran bisa bekerja sama dengan LPTK-LPTK yang kompeten menyelengarakan diklat paedagogik. Tidak sedikit guru yang mengalami kesulitan dalam memahami perubahan Kurikulum serta kendala-kendalanya. Banyak pula guru menemui kesulitan dengan prestasi peserta didiknya dalam pross pembelajaran. Maka dari itu, dengan diberikan diklat bagi guru dalam bidang paedagogik setidaknya menjadi motivasi untuk meningkatkan kualitas mengajarnya.
Ketiga untuk meningkatkan kompetensi kepribadian sekolah bisa bekerja sama dengan Lembaga ESQ (Emosional Spiritual Quietionts) untuk mengadakan diklat kepribadian. Ataupun, bisa mengadakan program kerohanian dalam meningkatkan kualitas kepribadian guru. Seorang guru merupakan contoh bagi siswa-siswanya. Ada pepatah mengatakan”guru kencing berdiri, murid kencing berlari”. Jika kepribadian guru baik maka kepribadian itu harus diterapkan dan diajarkan kepada peserta didiknya.
Untuk meningkatkan kompenetsi sosial, hendaknya dipupuk rasa empati dan simpatik kepada masyarakat sekitar. Guru merupakan figur siswa maupun masyarakat yang ditempatinya. Maka guru harus berperan dalam menjaga ketertiban dan keindahan lingkungan masyarakat. Rasa peduli dan kasih sayang terhadap kaum dhuafa harus ada dalam jiwa sang pahlawan pendidikan itu. Ataupun kepada siswa itu sendiri jika ada yang tidak mampu hendaknya bisa dibantu oleh guru yang merasa berkecukupan dan berkelebihan untuk meringankan biaia sekolahnya.
Itulah beberapa sumbangsih penulis bagi kemajuan guru-guru kita. Jadi bukan hanya kita perjuangkan kejehateraan saja bagi guru tapi peningkatan kualitas secara komprehensif. Tulisan Ini tidak hanya untuk pimpinan pendidikan tapi menjadi rekomendasi Caleg bila sudah menjadi Anggota Legislatif agar memprioritaskan anggaran kesejahteraan dan profesionalisme guru indonesia.

* Penulis Guru TIK SMP PGRI Pameungpeuk,Bandung

Rabu, 08 April 2009

KEPEMIMPINAN GURU DALAM MENGAJAR

Oleh

Ihsan Kamaludin*

“Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan diminta pertanggungjawabanya”, Begitulah dalam ajaran Islam diajarkan bahwa kita semua adalah pemimpin. Bagi seorang suami tentu ia pemimpin bagi istri dan anak-anaknya. tetapi, kebanyakan orang tidak mengerti apa itu kepemimpinan, Termasuk guru sebagai seorang pendidik. Apakah guru itu sadar bahwa ia adalah sorang pemimpin bagi murid-muridnya?dan pertanyan terakhir bagaimana guru menjadi pemimpin yang baik bagi murid-muridnya.

Pemimpin adalah seorang yang dapat memberi pengaruh dengan power yang ia miliki. Dampak dari pengaruh tersebut dapat membuat orang lain patuh dan taat terhadap perintahnya. Power tersebut bisa berupa kakuasaaan atau legaliatas bahwa ia seorang pemimin dalam hirarki organisasi. Seorang guru merupakan pemimpin karena ia dalam hirarki pemimpin dalam institusi sekolah secara langsung terhadap murid-muridnya.

Guru juga berperan sebagai manajer yang harus mengelola muridnya agar tujuan murid atau kelas dapat tercapai secara efektif dan efisien. Guru harus mampu dalam tiga konsep dan keterampilan dalam perencanaan, pengorganisasian serta evaluasi kegiatan belajar mengajar. Perencanaan kegiatan belajar mengajar dituangkan dalam Rencana Progran pengajaran (RPP). Pengorganisasian pembelajaran dimanifestasikan dalam penjadwalan materi pelajaran sedangkan evaluasi pembelajaran bisa berupa test tertulis maupun praktik dalam menguji sejauh mana murid berhasil dalam menerima pelajaran. Ketiga unsur manajerial tersebut digerakan oleh kepemimpinan.

Ada empat tipe kepemimpinan yang banyak dikenal. Tipe Pertama, kepemimpinan otoriter, kepemimpinan tipe ini cenderung memaksakan kehendak pemimpin dalam membuat keputusan tanpa ada peluang untuk anggota memberikan kontribusi. Jika pemipin mengakatan A maka angota tidak boleh mengatakan B harus taat dan patuh. Kepemimpinan ini bersifat komando dan banyak digunakan dalam kepemimpinan militer. Guru yang bertipe ini biasanya hanya ingin muridnya mengerti, memberikan banyak tugas, terkadang keras dalam mendidik muridnya, monolog dan jarang memberikan peluang pertanyaan pada muridnya.

Tipe kedua, kepemimpinan Laises-faire yaitu tipe kepemimpinan menganggap bawahanya sudah dewasa dan bisa mengembangkan dirinya, Bahkan yang masa bodoh terhadap bawahanya. Terkadang ada guru yang bertipe seperti ini yaitu ketika ia mengajar telah menganggap muridnya pintar dan terus memberikan materi tanpa memahami apakah muridnya bisa menyerap pelajaran dengan baik atau tidak.

Tipe Ketiga, Kepemimpinan Demokratis. Kepemimpinan ini merupakan kebalikan dari tipe otoriter. Jika kepemimpinan otoriter bersifat diktator dan memaksakan kehendak, maka sifat ini bisa terbantu dalam membuat keputusan dengan bantuan bawahanya. Jadi, bawahan berpartisipasi aktif dan pimpinan mengakomodir mana saran-saran yang dapat dijadikan alternatif keputusan. Jika ada tipe ini pada kepemimpinan guru dalam mengajar maka ia bisa memberikan kesempatan muridnya untuk bertanya, memberikan masukan pembelajaran yang baik dan menggunakan metode diskusi dalam memahami pelajaran di kelas.

Tipe keempat adalah tipe kepemimpinan psedo-demokratis atau demokrasi semu. Tipe ini seolah-olah pemimpin memberikan peluang bawahan dalam mengambil keputusan tetapi tetap dia sendiri yang harus diterima keputusanya. Tipe otoriter masih melekat pada dirinya tetapi dikemas dalam suasana demokratis. Seorang guru bertipe psdo-demokratis hanya bisa mengakomodir diskusi siswa tetapi selalu didominasi dan dikuasai oleh guru tersebut sehingga saran konstruktif dari siswa terhadap pembelajaran tidak diterima.

Itulah tipe-tipe kepemimpinan yang dikemukakan oleh para pakar. Tentunya, tipe yang ideal adalah kepemimpinan dengan pendekatan teori situasional. Artinya, seorang pemimpin harus bisa membaca situasi kapan ia harus otoriter dan kapan ia harus demokratis. Sedangkan tipe laises-faire tidak dianjurkan ada dalam kepemimpinan seorang guru. Karena jika laises-faire ada dengan terlalu mengangap murid telah dewasa maka tidak ada gunanya penilaian terhadap murid mana yang sudah dewasa dan mana yang harus ditingkatkan. Tipe Tersebut bisa ditambahkan sikap uswah (Tauladan) dari Rasulullah yang dinilai sukses dalam praktik kepemimpinan dengan sifat STAF yakni Shidik (jujur), Tabligh (Komunikator), Amanah (Kredibel) dan Fathonah (Cerdas).

* Penulis Guru TIK SMP PGRI Pameungpeuk Bandung