Senin, 14 Februari 2011

Ahmadiyah; Menelusuri Sejarah dan Ajarannya

Oleh;
Nizar A. Saputra
Pendahuluan
Akhir-akhir ini, Ahmadiyah menjadi pembicaraan yang hangat di kalangan umat Islam Indonesia. Berbagai pihak turut angkat bicara, mulai dari kalangan mendukung hingga yang menolaknya. Bahkan, para politisi pun angkat bicara. Pro-kontra ini lahir sebagai respon terhadap kekerasan-kekerasan yang terjadi terhadap Ahmadiyah di Cikeusik, Banten. Banyak yang menengarai adanya kekerasan terhadap Ahmadiyah dikarenakan fatwa MUI yang menyatakan Ahmadiyah sebagai aliran sempalan (sesat dan menyesatkan) di dalam Islam. Fatwa ini ditengarai, sebagaimana sering diungkapkan aktifis Islam liberal, sebagai factor utama terjadinya tindak kekerasan terhadap jama’at Ahmadiyah di beberapa daerah di Indonesia.
Biasanya, pembelaan terhadap Ahmadiyah yang dilakukan oleh aktifis Islam liberal didasarkan pada Hak Asasi Manusia, dalam hal ini adalah hak kebebasan untuk memeluk, meyakini dan menjalankan keyakinan beragama seseorang. Namun, menariknya, kalangan aktifis HAM juga tidak sedikit yang ikut berbicara tentang Ahmadiyah ini. Di antaranya……menurutnya, HAM sering disalah tafsirkan oleh beberapa orang untuk mendukung sebuah kasus. Dalam hal ini, pembelaan terhdap Ahmadiyah. Banyak orang yang membela Ahmadiyah atas nama HAM. Padahal katanya, HAM dalam hal ini hanya melindungi jama’ah Ahmadiyah dari tindak kekerasan yang dilakukan oleh beberapa orang, bukan membela Ahmadiyah dalam hal beragama. Sebab, termasuk juga dalam kategori pelanggaran HAM, jika sebuah aliran atau kepercayaan telah menodai dan mencederai ajaran agama tertentu.
Menurut Saharuddin Daming, anggota KOMNAS HAM dan Kandidat Doktor di bidang hokum Universitas Hasanuddin Makasar, kita perlu memahami, bahwa HAM dan kebebasan akan berakhir, ketika system hokum mengaturnya. Misalnya, seseorang memiliki kebebasan untuk memakai helm atau tidak. Itu hak dia. Tapi, jika sudah ada peraturan yang mewajibkan mengenakan helm bagi pengendara motor, maka kebebasan dia berhenti sampai di situ. Jadi, kewajiban pakai helm itu tidaklah melanggar HAM.
Dari pernyataan Saharuddin tadi, dapatlah kita simpulkan, bahwa kebebasan beragama memang diperbolehkan. Namun, kebebasan itu juga terikat oleh aturan-aturan, dalam hal ini adalah aturan Negara di Indonesia. Dalam UUD ’45, pasal 29 ayat 1 memang dijelaskan bahwa Negara memeberikan kemerdekaan kepada warganya untuk memeluk dan manjalankan keyakinan yang dianutnya. Namun, yang menjadi permasalahan, jika sebuah keyakinan mengatasnamakan suatu agama tertentu, namun dalam ajarannya bertentangan dengan agama tersebut, tentunya secara akal sehat kita akan mengatakan bahwa keyakinan tersebut tidak berhak mengklaim dirinya sebagai bagian dari agama itu.
Nah, inilah yang terjadi antara Ahmadiyah dan Islam. Di satu sisi, Ahmadiyah mengatasnamakan dirinya bagian dari agama Islam. Namun, di saat yang sama prinsip kepercayaannya sangat bertolak belakang dengan Islam. Jika demikian, apakah Ahmadiyah bias disebut sebagai bagian dari Islam? Inilah permasalahnnya. Secara akal sehat, problem ini memang diluar logika. Akan tetapi, tidak bias lantas umat Islam bias seenaknya mengambil keputusan tindakan-tindakan anarikis, padahal tidak tahu menahu di mana letak pokok permasalahannya. Jika memang Ahmadiyah itu sesat dalam hal apanya? Berdasarkan apa? Tentu ini harus dicermati dan ditela’ah berdasarkan ilmu. Dengan begitu, ungkapan dan tindakan kita bias dipertanggung jawabkan, baik secara syar’I maupun hukum di Indonesia.
Apa dan bagaimana sebenarnya Ahmadiyah? Bagaimana sejarahnya? Benarkan mereka itu aliran sempalan (sesat dan menyesatkan) dalam Islam? Di bawah ini, insya Allah akan kami paparkan secara ringkas. Mudah-mudahan bermanfaat bagi kita semua!

Biografi Proklamator Ahmadiyah
Mirza Ghulam Ahmad, pendiri Ahmadiyah, mempunyai banyak nama dan keturunan. Suatu keistimewaan buat dia, konon semua itu diperoleh dari Tuhannya. Bahkan yang lebih menarik lagi, Mirza Ghulam Ahmad menguasai banyak bahasa, antaranya: Bahasa Urdu, Inggris, Arab, Parsi, dan bahasa Ibrani. Dengan bahasa-bahasa itulah ia berdialog dengan Tuhannya.
Puteranya yang mashur, Bashiruddin Mahmud Ahmad (1899-1965) yang menduduki tahta khalifah kedua dalam jema'at Ahmadiyah, menulis tentang saat-saat kelahiran ayahnya;
"Hazrat Ahmad a.s. lahir pada tanggal 13 Pebruari 1835 sesuai dengan 14 Syawal 1250 hijrah, hari Jum'at pada waktu shalat shubuh, di rumah Mirza Ghulam Murtaza di desa Qadian. Beliau lahir kembar, yakni beserta beliau lahir pula seorang anak perempuan yang tidak berapa lama meninggal dunia. Demikianlah sempurna kabar ghaib yang telah ada dalam buku-buku Agama Islam, bahwa Imam Mahdi akan lahir kembar. "
Oleh siapa dan pada siapa kabar ghaib lahir kembar itu telah disampaikan? Kemudian dalam buku-buku Agama Islam yang mana kabar itu dimuat, Tidak disebut oleh Bashir M.A. nama aslinya pendiri Ahmadiyah ini sebenarnya adalah Ghulam Ahmad. Kemudian terdapat di depan Ghulam Ahmad, sebuah nama lagi ialah Mirza. Dengan demikian nama kepanjangannya menjadi Mirza Ghulam Ahmad. Di antara ketiga sebutan tadi, hanya Ghulam sajalah yang tidak diperbincangkan. Sisanya yakni Mirza dan Ahmad, merupakan nama- nama yang mengandung arti dan tujuan yang istimewa.
Sebutan nama MIRZA adalah untuk menyatakan bahwa ayahnya keturunan dari MUGHAL (Moghol). Ayahnya itu adalah keturunan haji Barlas, raja daerah Kesh, yang jadi paman Amir Tughlak Taimur.(4). Konon, di tahun-tahun yang akhir dari kerajaan Keiser Babar, yakni pada tahun 1530 masehi, seorang Moghol bernama Hadi Beg meninggalkan tanah tumpah darahnya ialah Samarkhand dan pindah ke daerah Gurdaspur di Punjab."Hadi Beg ini termasuk dalam urutan keduabelas ke atas dari kakek-kakek Mirza Ghulam. Ayahnyalah yang memberitahukan pada Ghulam Ahmad akan nasabnya dengan dinasti Mongol.( 6)
Hanya saja, darah mongolnya ini tidak menjadi kebanggan bagi dirinya. Alasannya, pemberian nama “Mirza” bukan berasal dari Tuhan seperti halnya nama Ghulam Ahmad. Bahkan informasi yang diberikan ayahnya itu berbeda dengan yang dia terima dari Tuhannya yang mewahyukan padanya bahwa nenek moyangnya berdarah Parsi.
Penisbatannya terhadap nasab Parsi ternyata memiliki makna dan arti maupun motif yang sangat khusus. Ini dapat dilihat dari pernyataannya yang menyebutkan bahwa dirinya mendapat wahyu dari Tuhan; “Pegang teguhlah iman itu wahai anak Parsi”. wahyu ini, menurutnya adalah sebagai bentuk manfistasi hadits yang disabdakan oleh Nabi Muhammad kepada Salman al-Farisi: “Sekiranya keimanan menggantung di bintang Tsuraya, niscaya akan dicapai oleh laki-laki dari Parisi”. Laki-laki Parisi yang dimaksud adalah dirinya. Di sini Ghulam Ahmad ingin melegitimasi Bai’at yang dianjurkannya kepada Umat Islam, sebagaimana perintah Nabi terhadap Salman ketika itu.
Padahal Mirza Ghulam Ahmad bukan keturunan Parsi, ia ketu runan Moghol. Lebih-lebih lagi ia kelahiran India, berdomosili di India. Bahkan ayahnya maupun kakek-kakeknya sampai kepada Hadi Beg kakeknya yang keduabelas itu, berada di India. Abad enam-belas masehi mereka sudah di Hindustan. Sudah hampir tiga ratus tahun kakek-kakek Mirza Ghulam berurat berakar di India. Tigaratus tahun jauh daripada cukup untuk memberi titel pada ayah dan Mirza Ghulam Ahmad maupun pada kakek-kakeknya sebagai pribumi India. Ia harus dipanggil, tidak dengan panggilan "ya ibna Al-Faras"melainkan dengan panggilan "ya ibnul Hind" wahai anak Hindustan.
Begitulah nasab dan makna dari nama Mirza Ghulam Ahmad. Adapun dalam kehidupannya, semasa kecil, Ghulam Ahmad mendapat pendidikan agama secara tradisional dari keluarganya. Ia juga belajar bahasa Arab dan Persia. Mirza menempuh pendidikan kelas menengah di daerahnya. Ia belajar grammer, ilmu mantiq dan filsafat di bawah bimbingan Maulavi Fazl Ilahi, Maulavi Fazl Ahmad dan Maulavi Gul Ali Shah. Ia juga belajar medis yang didapatkan langsung dari ayahnya, seorang dokter berpengalaman. Selama menempuh kehidupan studinya, Mirza adalah seorang murid yang rajin.1
Dalam keseharian hidupnya, dia seringkali bermeditasi sejak usia muda. Dalam keadaan seperti itu, dia mengaku sering mendapat petunjuk langsung dari Allah subhanahu wa ta’ala, seperti mendapat ma’rifat dalam dunia Sufi. Tetapi, dia sendiri tidak pernah dikenal sebagai sufi atau murid dari seorang guru sufi. Ketika 40 tahun (1880), ia menulis buku Barahin-I Ahmadiyah (argumentasi-argumentasi Ahmadiyah) yang berisi antara lain pengakuan dirinya sebagai al-Mahdi.
Sementara pada masa mudanya, Ahmad pernah tinggal di Balkot (India) mengikuti ayahnya yang sedang menyelesaikan perkara tanah. Ketika ayahnya wafat tahun 1876, Ghulam Ahmad kembali ke Qadian mengurus tanah milik keluarganya dan meneruskan kebiasaan lamanya, bermeditasi. Setahun kemudian, tepatny 1877, di Punjab (India) dia menyaksikan kebangkitan Arya Samaj dan Brahma Samaj, yakni gerakan kesadaran umat Hindu. Peristiwa tersebut menimbulkan semangat Ghulam Ahmad untuk membangkitkan suatu gerakan dalam Islam.
Pada tanggal 4 Maret, 1889, Ahmad mengumumkan dirinya sebagai al-Mahdi dan memberi petunjuk agar manusia melakukan bai’at padanya. Bai’at pertama dilakukan oleh dua puluh orang pengikutnya di Ludiana, dekat Qadian, India. Salah seorang diantaranya adalah Maulwi Nuruddin yang kelak menjadi khalifah pertama sepeninggal Ahmad.
Ada yang menarik dari sosok Mirza Ghulam Ahmad. Jika kita telusuri daya ingat, watak dan kesehatan fisiknya semasa hidupnya, Mirza berada dalam keadaan yang sangat menyedihkan. Sejak masa kanak-kanak Mirza adalah anak yang sangat sederhana. Ia tidak menaruh perhatian pada masa keduniaan dan nampak agak sedikit linglung. Ia bahkan tidak tahu bagaimana caranya memutar arlogi. Ketika ia harus mengetahui waktu, ia mengeluarkan arloginya dari saku bajunya dan mulai menghitung dari angka satu. Meskipun demikian, saat ia menghitung dengan menggunakan jarinya, ia tetap menghitung dengan suara keras supaya tidak lupa. Untuk mengetahui waktu, ia tidak bisa hanya dengan melihat arloginya. Karena begitu linglungnya, ia bahkan merasa kesulitan untuk membedakan antara sepatu sebelah kiri dan kanan. Mirza Bashir Ahmad menuliskan;

“Suatu saat ada seorang yang membawa gurgabi (sepatu yang biasa dipakai di daerah Punjab). Mirza memakainya, tetapi ia tidak bisa membedakan mana yang sebelah kanan dan mana yang kiri. Ia sering memakai sepatu dengan kaki yang salah sehingga ia merasa kurang nyaman. Kadang-kadang ketika ia diperingati untuk memakai sepatu dengan benar supaya tidak merasa sakit, ia akan mudah terasinggung dan mengatakan bahwa orang-orang tidak ada yang baik. Ibunya mengatakan bahwa ia telah memasang tanda yang menunjukkan sebelah kanan dan kiri yang diletakan di atas sepatunya supaya ia merasa nyaman tetapi ia tetap keliru memakai sepatu. Akhirnya ibunya melepaskan tanda tersebut.”
Itu daya ingatnya sang Nabi (palsu) Ahmadiyah. Sedangkan kondisi fisiknya, Mirza semasa mudanya sering mengalami histeria sehingga ia tearkadang jatuh pingsan tak sadarkan diri akibat penyakit saraf yang dideritanya. Ironisnya, penyakit itu Ia tafsirkan sebagai kegalauan jiwa. Mirza memang orang yang hidupnya didera dengan banyak penyakit. Ia menyatakan sendiri sering sakit kepala, pusing, insomnia, detak jantung yang tidak normal dan diabetes. Ia bahkan sering kencing seratus kali dalam sehari atau semalam. Karena sering buang air kencing, Mirza biasa mengantongi kelereng dari tanah liat di sakunya. Ia juga biasa membawa bongkahan gula karena ia sangat suka makan permen.

Nama Ahmadiyah
Penamaan ini didasarkan pada pembawa dan pendiri aliran ini, Mirza Ghulam Ahmad. Ahmad adalah nama pembawa ajaran ini, sedangkan Ahmadiyah adalah nama alirannya. Perlu kita ketahui bahwa nama "AHMADIYAH" bukan pertama kalinya ada setelah Mirza Ghulam Ahmad membentuk atau mengadakannya. Jauh-jauh sebelum Mirza Ghulam dikenal, nama Ahmadiyah itu telah ada. Ketika Mirza Ghulam masih bocah jadi masih belum ada apa-apa padanya, Sir syed Ahmad Khan, (1817-1898) pendiri Aligarh yang mashur itu, pada tahun 1842 membukukan hasil-hasil kuliyah-kuliyahnya dengan judul: "Al-Khutbatu-Al-Ahmadiyah" Ketika itu Mirza masih berumur kurang lebih tujuh tahun.
Bahkan jauh-jauh lagi di belakang syed Ahmad Khan, kira-kira 600 tahun sebelum Mirza Ghulam lahir, nama Ahmadiyah itu telah ada. Syed Ahmad al-Bedawi, seorang pejuang Islam yang mashur, mendirikan suatu Thariqat yang menggunakan nama beliau sendiri, ialah Ahmadiyah atau Bedawiyah.
Sebenarnya, bagi Mirza Ghulam Ahmad, adalah lebih tepat bila gerakannya itu memakai nama "Mirzaiyah" atau "Qadianiah." Tetapi ia dan pengikut-pengikutnya tidak menghendaki nama-nama itu. Menurut salah satu tokoh Ahmadiyah Indonesia, nama 'Ahmadiyah Qadian' itu selalu digunakan oleh orang -orang yang memusuhi Ahmadiyah. Jadi bukan nama yang tepat beliau ambil sesuai dengan kebenaran tetapi yang made in orang lain itu yang dipilihnya. Maka yang benar ialah yang resmi digunakan oleh orang-orang Ah madiyah sendiri terhadap gerakannya yakni gerakan Ahmadiyah atau Ahmadiyah movement. Hal ini bisa dilihat misalnya dari pernyataan Hazrat Mirza Tahir Ahmad, Khalifah al-Masih IV;
Aku ingin menarik perhatian kalian kepada sebuah bahtera lainya yang telah dibuat di bawah mata Allah dan dengan pengarahanNya. Kalian adalah bahtera itu, yakni Jemaat Ahmadiyah...
Lebih dari itu, Ahmadiyah juga sering menempelkan label Islam di belakangnya. Penamaan ini diberikan untuk membedakan dengan Islam lainnya;
Pada tahun 1901, akan diadakan sensus penduduk di seluruh India. Maka Hazrat Ahmad as. Menerbitkan sebuah pengumuman kepada seluruh pengikut beliau untuk mencatatkan diri dalam sensus tersebut sebagai Ahmadi Muslim. Yakni, pada tahun itulah Hazrat Ahmad as. telah menetapkan nama Ahmadi bagi para pengikutnya beliau as., untuk membedakan diri dari orang-orang Islam lainnya. Mirza Ghulam Ahmad ini telah meny atakan dirinya sebagai Organisasi bentukan Tuhan, sebagai Islam sejati dan sebagai "illa wahidah" hanya satu yang masuk sorga dari 73 pecahan ummat Islam itu. Karenanya, kedudukan illa wahidah pada gerakan Ahmadiyah itu, telah mendorong orang-orang Ahmadiyah untuk tugas suci mengIslamkan kembali kaum Muslimin, atau dengan kata lain, meng"ahmadiyah"kan mereka.
Pertanyaannya adalah, mengapa Mirza Ghulam Ahmad memakai nama Ahmadiyah untuk alirannya? Padahal lebih layak sebenarnya dia menyebut alirannya dengan nama Mirzaiyah atau Qadianiyah. Jika kita tarik hipotesa dari pemaparan di atas ada beberapa kemungkinan. salah satunya, bisa saja dia gunakan nama itu agar lebih familier atau dapat diterima di kalangan umat Islam, terutama Umat Islam di India. Terlebih lagi, tokoh-tokoh di India saat itu, sebagaimana disebutkan di atas, telah menggunakan nama ini (Ahmadiyah), dan masyarakat India kala itu menerima keberadaan tokoh (red. Syir Syed Ahmad Khan dan Ahmad Badawi) itu.

Ajaran Ahmadiyah Versus Islam
Prinsip pokok dalam ajaran Ahmadiyah adalah pengakuan adanya Nabi baru setelah Nabi Muhammad shallahu ‘alaihi wa sallam. Mirza Ghulam Ahmad yang menjadi pendiri aliran ini pada awalnya hanya mengaku al-Masih al-Mu’ud. Namun, dalam perjalanannya, dia mengaku telah mendapat wahyu dari Allah. Karena dia mengaku mendapat wahyu, dia menamakan dirinya sebagai Nabi. Bahkan dalam beberapa buku karangannya, dia secara terang-terangan menyebut dirinya Rasul, Penjelmaan (reinkarnasi) dari sosok Muhammad.
Al-Masih al-Mau’ud yang ada dalam hadits Nabi Saw adalah Isa ‘alaih al-Salam. Sedangkan al-Mahdi adalah Imam yang diisyaratkan oleh Nabi Muhammad saw, akan datang di akhir jaman untuk membebaskan manusia dari kesesatan dan kemaksiatan. Mirza Ghulam Ahmad mengaku dirinya adalah al-Masih al-Mau’ud sekaligus juga al-Mahdi. Dalam buku yang ditulis oleh salah satu tokoh Ahmadiyah dengan judul Syarif Ahmad Saitama Lubis, Dari Ahmadiyah untuk Bangsa, (2007;69-70), disana ditulis;
Imam Mahdi dan Isa yang dijanjikan adalah seorang nabi yang merupakan seorang nabi pengkit atau nabi ikutan dengan ketaatannya kepada YM Rasulullah saw yang akan datang dan mengubah masa kegelapan ini menjadi masa yang terang benderang. Dan apabila Imam Mahdi itu sudah datang, maka diperintahkanlah umat Islam untuk menjumpainya, walaupun harus merangkak di atas gunung…….
Dalam perkembangan sejarah, pada tahun 1879 Mirza Ghulam Ahmad a.s. menulis buku Braheen Ahmadiyya. Pada saat itu,Mirza Ghulam Ahmad a.s. belum menyampaikan pendakwaan. Namun ketika menulis kitab itu, sebenarnya sudah menerima wahyu. ‘Kamu itu nabi, kamu itu nabi! Da dipernitahkan mengambil bai’at, tapi masih belum bersedia.
Dalam bukunya, Eik Ghalthi Ka Izalah, ada tertulis penjelasan terhadap ayat al-Quran;
محمّد رسول الله والذين معه أشدّاء على الكفّار رحماء بينهم
Mirza Ghulam Ahmad menyatakan; “Siapa yang dimaksud dengan “Muhammad” dalam ayat tersebut, yakni; dalam wahyu ini Allah Subhanahu wa ta’ala menyebutku Muhammad dan Rasul. Dalam esai berikutnya, lagi-lagi Mirza Ghulam Ahmad menegaskan kembali bahwa dirinya adalah penjelmaan Muhammad. Dia menyatakan; “Dan dua puluh tahun yang lalu, sebagai tersebut dalam kitab Barahin Ahmadiyah Allah ta’ala sudah memberikan nama kepadaku, dan menyatakan aku wujud beliau juga.
Dengan redaksi yang hamper mirip, di halaman berikutnya Ghulam Ahmad kembali menegaskan; “…Dalam hal ini wujudku tidak ada, yang ada hanyalah Muhammad Mustafa SAW, dan itulah sebabnya aku dinamakan Muhammad dan Ahmad
Dalam Majalah Bulanan resmi Ahmadiyah juga pernah dimuat tulisan yang isinya sebagai berikut; “Dalam wahyu ini Tuhan menyebutkanku Rasul-Nya, karena sebagaimana sudah dikemukakan dalam Braharin Ahmadiyah, Tuhan Maha Kuasa telah membuatku manifestasi dari semua Nabi, dan memberiku nama mereka. Aku Adam, Aku Seth, Aku Nuh, Aku Ibrahim, Aku Ishaq, Aku Ismail, Aku Ya’qub, Aku Yusuf, Aku Musa, Aku Daud, Aku Isa dan Aku adalah Penjelmaan sempurna dari Nabi Muhammad saw yakni aku adalah Muhammad dan Ahmad sebagai refleksi (Haqiqatul Wahyi, hal. 72).
Beberapa kutipan di atas cukup memberikan data dan bukti, bahwa Ajaran Ahmadiyah memang bertolak belakang dengan Islam. Ada beberapa kerancuan (confusion) dari pemikiran-pemikiran dan pernyataan-pernyataan Mirza Ghulam Ahmad jika dihubungkan dengan ajaran Islam. Pertama; Mirza Ghulam Ahmad menyebut dirinyaDalam Islam, sebagaimana dijelaskan dalam Qs. 33: 40, dan beberapa hadits, tidak ada lagi Nabi setelah Muhammad shallalahu ‘alaihi wa sallam; belaiu adalah penutup para nabi,

Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. dan adalah Allah Maha mengetahui segala sesuatu. (Qs. Al-Ahzab: 40)
Dari Mut'im r.a. katanya: Rasulullah Saw bersabda 'Sesungguhnya aku mempunyai beberapa nama Aku Muhammad, Aku Ahmad , Aku yang penghapus karena aku, Allah menghapuskan kekafiran, Aku pengumpul yang dikumpulkan manusia dibawah kekuasaanku dan aku pengiring yang tiada kemudianku seorang Nabipun. (HR. Muslim)
Hubunganku dengan kenabian sebelumku seperti layaknya pembangunan suatu istana yang terindah yang pernah dibangun. Semuanya telah lengkap kecuali satu tempat untuk satu batu bata. Aku mengisi tempat tersebut dan sekarang sempurnalah istana itu." (HR. Bukhari dan Muslim).
Pengakuan akan adanya Nabi setelah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bukanlah hal baru dalam sejarah Islam. Semenjak zaman Nabi Muhammad pun sudah ada.. Nama Musailamah al-Kadzdzab dari Yalamlam merupakan nama yang banyak dikenal oleh orang Muslim karena pengakuan palsunya sebagai nabi. Ketika Nabi Muhammad wafat, pengakuannya sebagai nabi mencuat kembali di semenanjung Jazirah Arab. Musailamah yang tadinya sudah memeluk Islam, kembali lagi memproklamirkan sebagai nabi, disusul dengan Aswad al-Insa dan Thulaihah ibn Khuwailid al-Asadi. Khalifah Abu Bakar pun langsung mengambil tindakan memerangi mereka. Musailamah pun mati di tangan Wahsy bin Harb. Tindakan Abu Bakar memerangi para nabi paslu tersebut didasarkan pada kesesatan mereka. Sebab memang pengakuan sebagai nabi setelah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam,bertentangan dengan dalil-dalil seperti yang disebutkan sebelumnya.
Ahmadiyah dengan prinsip pokoknya, bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah nabi mereka, merupakan fenomena lama dalam sejarah Islam, namun dengan wujud baru. Dikatakan fenomena lama, karena memang apa yang dilakukan Mirza Ghulam Ahmad sama dengan para nabi-nabi palsu dahulu. Dengan Musailamah al-Kadzdzab misalnya. Dahulu,untuk membuktikan dirinya nabi, dia menyodorkan beberapa bait yang dikalimnya sebagai wahyu. Cara yang dilakukannya adalah dengan cara meniru dan memelintir ayat-ayat al-Quran. Peniruan dan pelintiran terhadap ayat-ayat al-Quran seperti yang dilakukan Musailamah, akan banyak kita temukan dalam kitab Tadkirah yang diklaim Mirza Ghulam Ahmad sebagai wahyu dari Allah. Di sinilah mengapa saya menyebut Ahmadiyah adalah fenomena lama dalam sejarah Islam dalam bentuk dan wujud yang baru. Dari sinilah kesesatan Ahmadiyah, jika menyebut dirinya sebagai bagian dari Islam. Pengakuan adanya nabi setelah Nabi Muhammad, dan adanya wahyu setelah al-Quran merupakan indikasi kuat sesatnya Ahmadiyah.
Memang, pengakuan adanya nabi setelah Nabi Muhammad dan adanya wahyu setelah al-Quran, apalagi jika ditambahkan dengan pengakuan adanya syariat baru yang menghapus syariat Nabi Muhammad, merupakan indikasi yang sangat mudah untuk menyebutnya sesat dan menyesatkan dalam Islam, hatta orang awam sekalipun. Karenanya, tidaklah heran jika pada kemunculannya, Ahmadiyah segera mendapat protes besar-besaran dari umat Islam, di India khususnya, umumnya di belahan dunia.
Pada tahun 1933 di kota Lahore India, terjadi huru-hara. Pada mulanya para Ulama bersama-sama kaum muslimin yang dikenal dengan sebutan - Golongan Ahrar - mengajukan appeal pada Pemerintah agar aliran Qadiani atau yang lebih dikenal dengan nama: AHMADIYAH, dinyatakan sebagai aliran non Islam.Suasana hangat dalam pertemuan itu, kiranya telah menembus ke luar gedung meliputi massa kaum Muslimin yang sedang menunggu hasil hasilnya. Kegelisahan pada mereka telah merata, kesabaran telah lenyap, dan tanpa menanti lebih lama lagi, mereka mulai bergerak turun ke jalan-jalan mengadakan demonstrasi. Kemarahan dan emosi membawa mereka, bagaikan arus yang menyisihkan setiap rintangan di depan bahkan kekerasanpun terjadi di sana-sini.
Huru-hara itu begitu dahsyat, sehingga penanganannya pun harus diselesaikan dengan cara militer. Pemerintah India ketika itu menurunkan pasukan militer untuk meredam dan menghentikan aksi protes besar-besaran umat Islam. Tidak sedikit dari umat Islam yang menjadi korban.
Tiga tahun kemudian setelah terjadinya peristiwa Ahrar tersebut, DR. Mohammad Iqbal, Failosoof dan Pujangga besar Islam mengirim sepucuk surat pada Pandit Nehru, dimana beliau mengutarakan pendiriannya terhadap Ahmadiyah. Isi dari surat beliau tersebut yang bertanggal 21 Juni I936, berbunyi:
"Sahabatku Pandit Jawahar Lal,

Terima-kasih atas surat anda yang telah kami terima kemarin. Pada saat saya menulis jawaban atas artikel-artikel anda, saya merasa yakin bahwa anda tidak menaruh minat apapun terhadap sepak-terjang orang-orang Ahmadiyah itu. Kendatipun demikian adanya saya menulis juga jawaban tersebut, ialah semata-mata didorong untuk membuktikan, terutama pada anda, bagaimana sikap loyalitas kaum Muslimin di satu pihak, dan bagaimana sebenarnya tingkah laku yang ditontonkan oleh gerakan Ahmadiyah itu. Setelah diterbitkan risalah kami, saya mengetahui benar-benar bahwa tidak seorang Muslimpun yang berpendidikan, menaruh perhatian atas asal-usul maupun perkembangan ajaran ajaran Ahmadiyah. Selanjutnya perihal artikel-artikel yang anda tulis itu, bahwasanya bukan saja penasihat-penasihat Muslim anda yang berada di Punjab yang merasa cemas, bahkan hampir di seantero negeri mereka semua cemas. Hal ini lebih membuat mereka gelisah, bila memperhatikan bagaimana orang orang Ahmadiyah bersorak-sorai karena artikel anda itu. Tentu saja dalam hal ini surat kabar Ahmadiyah banyak membantu sepenuhnya timbulnya prasangka dan kecemasan-kecemasan itu. Namun demikian, pada akhirnya saya sungguh bergembira bahwasanya anda tidak sebagaimana yang kami cemaskan itu.
Pada tanggal 15 Mei 1953 di kota Lahore Pakistan, seorang Ulama besar, syed Abul A'la al-Maududi, karena menyerang keras aliran Qadiani (Ahmadiyah) dan bersama-sama kaum muslimin menuntut agar pengikut -pengikut Ahmadiyah dinyatakan sebagai golongan non-muslim, oleh pengadilan militer di Lahore, beliau dan seorang Ulama bernama Maulana Niazi, dijatuhi hukuman mati!
Melihat situasi yang semakin panas itu, pemerintah cepat-cepat turun tangan, mengambil langkah mendatangi Syed Maududi di tempat tahanannya, menawarkan pada beliau kesempatan untuk mohon ampun dan mohon dikasihani. Namun dengan sikap yang berani dan tegas, beliau berkata:"Tidak, lebih baik aku mati daripada merendah-rendah diri di hadapan suatu Tyran. Jika ini sudah Takdir Allah, aku dengan segala keikhlasan menerimanya. Akan tetapi jika ini bukan KehendakNya, maka ketahuilah! Jangan coba-coba menyakiti diriku."
Pada tanggal 8 Juni 1974, di Islamabad Pakistan, telah terjadi demonstrasi kemarahan kaum Muslimin yang mencapai klimaksnya. Kali ini peristiwa itu lebih banyak makan korban harta benda dan jiwa. Di tahun ini pula Rabhitah Alam Islamy telah me-non-Islamkan [meng-kafirkan] Ahmadiyah dan sekaligus melarang angauta-anggautanya naik haji. Keputusan ini diambil atas dasar-dasar pertimbangan serta penelitian yang seksama akan bentuk hakiki dari gerakan Ahmadiyah itu. Ulama-ulama di Pakistan, India, atau dimana saja, melihat gerak-gerik Ahmadiyah tidak lagi dari segi-segi lahirnya, akan tetapi pada segi segi bagian dalamnya.
Sebaliknya dari peristiwa 1974 itu, gerakan Ahmadiyah sendiri mempunyai pandangan-pandangan yang berbeda. Golongan ini berkata:
"Rahasia di-non-Islamkannya Ahmadiyah, ialah sebagaimana yang diberitakan oleh harian - Imroz Lahore Pakistan, seperti berikut ini: Chiniot, 16 November (74). Menteri Kehakiman Propinsi merangkap urusan Parlemen, Sadar Asghar Ahmad, dihadapan rapat akbar di Jerwala mengatakan, bahwa partai rakyat (yang berkuasa di Pakistan sekarang) telah berhasil menyelesaikan masalah "Khataman Nubuwah" dengan cara yang amat bijaksana. Penyelesaian masalah ini merupakan kejadian besar sesudah peristiwa Karbala yang tercatat dalam sejarah Islam. Perdana Menteri Ali Butto telah berhasil menghancurkan siasat pemimpin pemimpin opposisi dengan menyelesaikan masalah Qadiani itu."

Dari sinilah Ahmadiyah mengalami perpecahan. Pertama; Ada Ahmadiyah Qadiani, yang tetap dengan prinsipnya Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi. Kedua; Ada Ahmadiyah Lahore yang memperbaharui prinsip pokok Ahmadiyah awal . Jika Qadiani masih menganggap Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi, Lahore tidaklah demikian. Lahore menganggap Mirza Ghulam Ahmad sebagai mujaddid (pembaharu). Perubahan prinsip pokok keyakinan Ahmadiyah Lahore ini faktornya adalah adanya demontrasi dan fatwa bahwa Ahmadiyah bukanlah Islam (kafir). Mereka masih ingin Ahmadiyah tetap menjadi bagian yang diakui dalam Islam, tapi dengan nama yang tetap sama, figur teladan yang sama (Mirza Ghulam Ahmad).
Adanya perubahan prinsip keyakinan di Ahmadiyah Lahore ini tentunya ada tujuan tertentu. Mungkin salah satunya, seperti disebut di atas, agar bisa diterima oleh umat Islam dan atau minimal tekanan dari umat Islam tidak terlalu keras. Namun, hendaknya kita tidak terpengaruh dengan taktik yang dilakukan oleh Ahmadiyah. Kalaupun mereka menganggap Mirza Ghulam Ahmad bukan sebagai nabi melainkan hanya sebagai mujaddid yang diisyaratkan nabi akan muncul dalam kurun waktu satu abad sekali. Akan tetapi, tetap saja aliran ini bisa kita katakan dhaal-mudhallun, sebab mereka mengikuti Mirza Ghulam Ahmad yang mengaku nabi. Wallahu A’lam bi al-Shawab